Menemukan Cinta

Blog ini ditulis dalam rangka memenuhi ‘Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog’ dengan tema “Love Story”. Setelah berpikir sejenak, akhirnya saya memutuskan untuk menulis kisah cinta saya pribadi. Hehe. Jangan eneg duluan ya bacanya 😀

banner-tantangan-mgn-2022 Apa itu cinta?

Saya pertamakali merasakan ketertarikan kepada lawan jenis ketika saya masih berada di taman kanak-kanak. Cepat sekali, ya. Perasaan dimana saya senang bermain dengannya dan sedih ketika dia marah karena saya iseng mencoret gambar miliknya. Sampai detik ini pun, saya masih ingat nama lengkapnya. Saya tidak paham bagaimana ‘ketertarikan’ itu tumbuh di dalam diri seorang anak kecil, tapi saya yakin, itulah yang saya rasakan.

Begitu pun dengan kisah cinta monyet selanjutnya yang saya alami; semua datang begitu saja. Perasaan berdebar-debar hanya karena melihat ‘dia’ di kejauhan. Perasaan ketika saya tidak sabar ingin berangkat ke sekolah karena akan bertemu dengannya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, perasaan bergejolak itu akan lenyap seperti mimpi yang ditelan kesadaran. Entah karena bertepuk sebelah tangan, atau karena bosan saja.

Bercermin dari pengalaman saya belasan tahun lalu, rasanya banyak sekali yang ingin saya ajarkan kepada diri saya saat itu. Saya yang masih remaja merasa bingung bagaimana menyikapi perasaan suka yang seenaknya datang dan seringkali menyita pikiran. Kebetulan, orangtua saya pun tidak pernah secara khusus membicarakan hal semacam ini. Hanya tegas melarang saya berpacaran sampai usia 17 tahun, that’s it. Kami memang tidak terbiasa bertukar cerita mengenai hal-hal yang menyangkut perasaan. Orangtua saya juga bukan tipe yang terbuka mengekspresikan kasih sayangnya kepada anak-anak. Saya yang masih remaja tanggung pun berusaha sendiri memahami dan mengelola perasaan di hati saya.

Dan akhirnya, saya belajar tentang ‘cinta’ dari sumber-sumber yang available di sekitar saya : komik,novel, cerita teman, bahkan sinetron.

1-Sailor-Moon-Crystal-captcha-500x281 (1)

sumber

Di benak saya, cinta itu seperti kisah Usagi Tsukino dan Mamoru Chiba yang terlahir dan dipersatukan kembali oleh takdir di Planet Bumi.

Cinta itu adalah komik serial cantik dengan tokoh utama wanita biasa-biasa saja yang selalu memendam perasaan namun akhirnya menarik perhatian sang tokoh utama yang tampan dan populer. Cinta itu ketika kita mencari segala sesuatu tentang orang yang kita suka (nyaris seperti stalking) dan menjadi yang paling mengerti tentang pria yang kita suka (lalu cinta pun berbalas). Happy ending.

Kenyataannya… saya dulu bisa dibilang tidak ‘laku’. Hehe.

Sekarang sih saya merasa sangat bersyukur, merasa Allah sudah melindungi saya sehingga saya minim pengalaman berpacaran.

Namun, dulu saya pernah merasa rendah diri ketika saya menjadi satu-satunya perempuan yang belum pernah ‘ditembak’ di antara teman-teman SMP saya. Saya merasa jadi perempuan yang tidak cantik, tidak menarik. Penampilan saya memang tidak sesuai dengan definisi cantik di kala itu; kulit saya gelap dengan rambut ikal berantakan dan hidung tak mancung. Ditambah saya anak yang canggung dalam bergaul serta cuek dalam berpenampilan. Saya menjadi semakin tidak percaya diri. Saya ingin disukai dan diperhatikan oleh lawan jenis. Ingin perasaan saya terbalaskan seperti teman-teman saya yang lain.

Ketika akhirnya saya punya pacar pun, ketidakpercayaan diri saya akhirnya membuat saya menjadi terlalu clingy dan akhirnya selalu putus dalam hitungan bulan. Dan patah hati itu terasa berat untuk saya. Saya masih ingat, di tengah masa kuliah, saya memutuskan untuk pulang ke rumah orangtua saya di Cilegon karena pikiran saya benar-benar stuck. Hati terasa begitu berat, makanan pun terasa tawar di lidah. Sepanjang perjalanan bus Armada Jaya Perkasa rute terminal Leuwipanjang-Cilegon Timur, tidak henti-hentinya saya menangis. Air mata berhenti mengalir hanya ketika saya ketiduran karena lelah menangis. Dramatis sekali ya? Rasanya ingin saya cubit diri saya yang dulu.. Andai ‘passion’ saya ini bisa disalurkan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat ya.

Saya sadar, saya tidak mampu mengolah perasaan saya dengan baik. Jatuh cinta seringnya membuat saya mengeluarkan yang terburuk dari diri saya. Membuat saya kehilangan nilai diri saya. Semua alur kisah cinta di komik, novel, atau pun sinetron tidak pernah ada yang menjadi kenyataan untuk saya. Bahkan, novel tragedi pun rasanya memiliki rangkaian cerita yang lebih baik daripada kisah saya yang selalu layu, bahkan sebelum berkembang. Tamat dalam sepuluh halaman pertama saja.

Saya pun memutuskanuntuk tidak mau pacaran lagi dan langsung menikah saja! Kapok!

Lalu, bertemulah saya dengan suami saya. Kami berdua bekerja di tempat yang sama, dan (konon) dia naksir sama saya sejak pandangan pertama ketika melihat saya yang waktu itu masih anak baru sedang numpang fotokopi di dekat cubicle dia hehe. Ketika dia mulai rajin mendatangi kosan saya, mengajak saya nonton atau makan bersama, tanpa tedeng aling-aling saya langsung berkata padanya : “Kamu suka ya sama saya? Saya ngga mau pacaran ya. Saya maunya langsung nikah”.

Jujur, saya merasa agak”gila” berbicara menantang seperti itu. Bayangkan saja, saya baru berusia 22 tahun! Masih banyak impian yang ingin saya kejar. Entah apa yang ‘merasuki’ saya sampai berpikiran untuk menikah secepat itu. Dan ternyata, suami saya pun sama saja gilanya karena langsung mengiyakan ucapan saya yang baru dikenalnya beberapa bulan saja. Long story short, akhirnya kami menikah sepuluh bulan kemudian.

Lalu, apakah kehidupan pernikahan adalah khayalan percintaan saya yang menjadi kenyataan?

Kita semua yang sudak menikah tentu sepakat dengan jawaban TENTU TIDAK.

IMG_4016

pernikahan itu penuh tantangan

Pernikahan kami, selayaknya pernikahan manusia biasa, tentu diwarnai beribu konflik yang tidakakan bisa dijabarkan dalam sebuah novel romansa. Namun, dari pernikahan inilah saya belajar memaknai ulang cinta.

Cinta itu ternyata tentang menjadi diri kita apa-adanya di hadapan pasangan kita, lengkap dengan bekas-bekas luka yang mengukir hati kita sejak kecil. Tanpa pretensi.

Cinta adalah ketika kita bercermin dari seluruh kekurangan yang kita miliki dan berusaha semampunya untuk berkompromi dan belajar menjadi lebih baik untuk satu sama lain.

Cinta adalah tempat berlabuh, tempat bersandar. Sebuah rumah yang menerima kita dengan tangan terbuka tanpa takut terusir.

Cinta adalah perjalanan panjang, sebuah proses pembelajaran yang harus selalu diusahakan. Bukan sebuah fairytale yang berhenti di kalimat ‘… and they live happily ever after’

Sampai sekarang pun, saya yang insecure ini masih acap kali bertanya kepada suami saya apakah dia mencintai saya? Dan syukurlah, tanpa bosan dia akan selalu berkata “Ya”.

Tiga puluh tiga tahun hidup dan saya masih berusaha meyakinkan diri saya bahwa, ya, ada yang menerima dan menyayangi saya apa-adanya.

Berkat pernikahan ini pula saya merasakan bentuk cinta yang lainnya. Yaitu, cinta ibu kepada anak-anaknya.

Ketika saya memutuskan berhenti kerja dan menjadi ibu rumah tangga, sesungguhnya itu bukan pengorbanan yang saya lakukan untuk anak-anak. Justru kebalikannya, saya yang membutuhkan mereka. Saya butuh mencintai mereka dan memeluk mereka setiap saat. Mereka adalah anak-anak yang menerima saya sebagai ibunya, mencintai saya tanpa satu pun syarat.

Belajar dari apa yang saya rasakan waktu masih kecil, saya pun bertekad untuk lebih terbuka dalam mengekspresikan kasih sayang saya. Saya ingin ‘tabungan’ kasih sayang mereka sudah penuh sampai mereka tidak merasa butuh mencarinya lagi di luar rumah. Tentu kedua anak perempuan saya kelak akan jatuh cinta pada seorang pria. Tapi, semoga fondasi dari kami tidak membuat pikiran mereka terlalu fokus pada imajinasi cinta yang bisa menjauhkan mereka dari tujuan-tujuan hidup yang lain.

Begitulah saya menemukan berbagai bentuk cinta selama tiga puluh tiga tahun usia saya sekarang. Sungguh saya bersyukur bahwa Tuhan masih memberkahi saya dengan cinta-cinta yang menguatkan. Memberikan saya berbagai pengalaman rasa sehingga saya dapat mengambil pelajaran.

Bisa dibilang, ini pun sebuah bentuk kasih sayang dari Tuhan kepada saya.

LOVE ME

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog

I thought long and hard about things that I really want to learn. Apparently the list is quite lengthy, compiling artsy activities like sewing and drawing to the random one like screenwriting. Then, I look at the mirror and I instantly see the crumbs of baby biscuit in my home dress, my hair all tangled and skin so dull.. a sad-looking woman eyeing me back.

The pandemic has sunk me down into my lowest point.

I got pregnant during early pandemic and I was pretty much isolated inside my home almost all the time, with no assistant to help me taking care of the house or caring for my eldest. My pregnancy was quite difficult because I threw up and got dizzy all the time, I mostly crouched on my bed, felt sick and helpless. At that time, my aunt and her two sons (my cousins) passed away due to covid; it all happened in a week. I have always been a little bit paranoid, and this took me into another level of fear.

Even after I gave birth to a pretty little baby, the fear and stress never ceased. I am so tired, so frustrated. Nothing goes right. My house is such a messed up, I feel guilty that I sometimes disturb my husband during workhour because I need his help so bad, and my eldest protest that I don’t spend enough time with her. So, I run to my no.1 comfort source : food. Every time I feel horrific, I will go-food something sweet or fried. I never exercise and do not mention skincare routines, I totally abandon it. I’ve became this ugly, fat, and sad woman in her thirties. Not what I had imagined myself would be at this age.

So, the first thing I want to learn again is to TAKE CARE of myself. To LOVE myself once again. Be healthy, inside out.

To be honest, I am quiet clueless. What I did to love myself was usually related to fun things, doing my hobbies like traveling or watching Korean drama. It did make me happy but usually only in short-term period. When I have to go back to “work”, I feel exhausted even from the time I open my eyes in the morning. I feel my body aches all the time and it does affect my mood during the day. I know I can’t be like this. I know I have to change, I have to do something.

So, I think I will put exercising as my very first priority. I believe my less-energized body is also the cause of my stress. I often find myself want to do many things but end up too tired so I couldn’t finish what I start or what I plan. These unchecked plans sometimes made me feel uneasy. So, yes.. let’s do some exercising, even just for 15 minutes a day!

Then, I need to take care of my skin. You know, I like to buy skincare products but they usually end up untouched and expired after just first few attempts. Doing skincare routine is truly a heavy commitment for me, who usually just washing face at night. Forget nine-step Korean way, I think I’ll start from the easiest care: wearing sunscreen and deep cleansing. I’ll level up my skincare game after I successfully doing it religiously for at least 3 months.

I think that’s it. That’s the simplest start for me to LOVE myself. Doing baby steps to take care of myself. That’s maybe the easiest things for anybody else, but trust me, it’s not for me. Hopefully, I’ll write some good updates next time!

Adapting

I finally become a mother of two! Before I gave birth to my second child, I had many worries in my head. What if I die? Who will take care of my daughters? And when you have more than one child, what are you supposed to feel? Could you split your love evenly? When I was a child, I always thought my mom love my little sister more.. and I still feel that way until now to be honest. Though I don’t really mind it now, I remember it was hurting me back when I was much younger. I don’t want my children to feel like that. I want them to know that I love them equally. Both of them are special.

Another problem that I face is : ‘am I strong enough?’

I don’t have anyone to assist me. Only my busy husband at home. And he’s still taking his master degree. He’s also very busy now he’s appointed as the team leader on his department (that’s not even in our contingency plan!). And I have a school-age daughter who needs me to assist her doing school works. And that sleepless nights when baby refuses to sleep on the right time. I feel lonely sometimes. Lonely and tired.

It has been two months since I gave birth. It is still hard for me. I still feel the same, lonely and tired. I feel weak. Because whatever I did, my house still quite messed up, my daughter still complain to me that no one accompany her.. Nothing really goes well nowadays.

I am still adapting….. and I don’t know when will I get used to all of these.

Berbagi

Jadi, kemarin Momo dikasih hadiah uang oleh datuk neneknya di Palembang. Lalu dibelikan puzzle oleh Ayahnya, dan sisanya kita bertanya pada Momo mau dibelikan apa. Karena mainan Momo sudah cukup, pakaian juga sudah banyak, saya kasih opsi untuk dia : apakah sisanya mau disedekahkan? Kebetulan ada program foodbox masjid di RSUD Kanujoso, di mana kita bisa mengirim makanan ke sana untuk diambil siapa saja yang membutuhkan (secara ini RS rujukan daerah, jadi pasien dan keluarganya berasal dari berbagai kalangan).

Kita sama sekali ga memaksa tentunya, kita juga bilang kalau mau dibelikan mainan, baju, atau benda lainnya juga bebas. Dan sungguh terharu sekali ketika Momo memilih untuk menyedekahkan uangnya karena ia ingin membantu orang lain. Huhu. Nak, nak.. Semoga kamu terus murah hati seperti ini ya. So proud of you ❤️

Si Anak Baik

Momo, si anak gadis sulungku. Anak yang baik dan lembut hatinya. Walau pun kadang susah makan dan susah disuruh tidur, tapi selama lima tahun ini dia adalah anak yang sangat baik, sangat mandiri.. Pokoknya Momo itu berkah Allah untuk ibu yang kurang sabar kayak saya. Daripada dia yang belajar dari saya, jauhhh lebih banyak saya yang belajar dari Momo. Malah kayaknya saya yang makin banyak mengenal diri sendiri sejak punya Momo.

Kadang saya juga melihat cerminan diri saya ketika melihat tingkah-laku Momo. Ketika melihat dia cukup sensitif kalo saya pake nada agak tinggi, saya ingat diri sendiri yang juga gampang tersinggung untuk hal-hal kecil. Melihat dia berkeras tentang suatu hal, saya ingat saya yang juga suka keras kepala, bahkan kadang untuk hal yang saya jelas-jelas salah. Dan banyaakkkk hal lain yang kadang membuat saya kesal, tapi ketika dipikir-pikir.. Dia sebenarnya cuma mencontoh kelakuan orangtuanya saja. Bagaimana saya (dan suami) mau menasehati dia sesuatu kalau kami sendiri masih belum bisa memberikan contoh yang baik?

Meski pun demikian, saya takjub juga betapa anakku ini sangat perhatian kepada kedua orangtuanya, dan kadang menyikapi sesuatu dengan cara ‘dewasa’. Dia baru lima tahun tapi udah benar-benar banyak memberikan contoh untuk kami, kedua orangtuanya.

  • Dia selalu ingin berbagi, terutama dengan ayahnya. Misalnya ketika saya kasih cemilan yang jumlahnya sebenarnya tidak banyak, tapi dia sering menyisakan sebagian untuk ayahnya tanpa diminta (padahal dia juga sangat suka cemilannya)
  • Kalau misalnya saya dan suami sedang berdebat dengan nada agak tinggi, dia sering menengahi dengan bilang “Ayah, ibu.. Ayo diskusi dulu yang baik terus baikan” atau “ayo ibu ayah salaman, pelukan.. Udah udah”. Langsung krenyesss.. Ya Allah ini orangtuanya egois juga ya bertengkar di depan anak kayak gini. Huhu. Tapi kita selalu ensure untuk minta maaf sama Momo, dan kita selalu bilang kalo habis berselisih, yang penting harus dibicarakan baik-baik, saling minta maaf, dan berbaikan kembali (berharap dengan penjelasan seperti ini tidak membuat dia takut atau trauma dengan pertengkaran).
  • Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, kalau saya lagi kelihatan capek dan sakit, dia sering elus-elus kepala saya. Lalu mengambilkan minuman, menyelimuti saya, pokoknya supaya saya merasa lebih nyaman. Atau dia menari-nari atau memasang ekspresi lucu supaya saya terhibur. Saya kadang ngga enak juga sama dia kalo pas ngga enak badan, jadi saya minta maaf ngga bisa banyak ngajak main. Jawaban dia : “Gapapa, kan namanya ibu hamil. Ibu istirahat aja”. Pernah juga pas videocall akung utinya, ibu ketiduran. Terus dia bilang, pas ibu ketiduran, Momo kecilin volume suaranya supaya ibu tidak terganggu.

Ya Allah, sungguh aku merasa beruntung sekali menjadi Ibu Momo. Sampai sering bertanya, aku teh udah berbuat apa sampai dikasih anak sebaik ini.. Perasaan aku teh banyak bangettt kurangnya, banyak banget kejelekannya. Sungguh Momo itu anugrah, penghibur banget untuk ibu dan ayahnya. Sekaligus pengingat untuk menjadi orangtua yang lebih baik, yang bisa selalu menjadi role model meski pun kami tidak akan mungkin sempurna. Benar-benar berharap semoga sebagai orangtua, aku bisa mendidik dia sampai menjadi orang dewasa yang selalu bersyukur pada Allah, jadi manusia utuh yang bisa menghargai dirinya sendiri dan makhluk ciptaan Allah lainnya. Aamiin aamiin Ya Rabb.

Lelah

Sebenarnya lagi lelah dan super bad mood hari ini. Badan sakit-sakit (terutama pinggang), lemas juga karena belakangan tidur malam semakin sering kebangun dan kurang nyenyak. Mood lagi benar-benar senggol bacok atau senggol kejer.

Jadi, sekarang mau nge-list hal-hal “positif” aja, siapa tau bisa sedikit boost up my energy.

  • Per hari ini ngga ada gunungan baju kusut. Hmm, ada beberapa baju kantor suami yang belum disetrika, tapi most pakaian udah rapih terlipat di laci. Cucian kotor juga ngga menumpuk meski sering hujan.
  • Rumah udh disapu sama Mbak Didi si robot vacuum kesayangan.
  • Si Momo udah semakin lancar hafalan An-Naba’. Sebenarnya hafalan dia udah lumayan banyak, tapi karena ibunya ga disiplin dan males ngulang, semua hafalan lamanya ilang deh. Al-Ikhlas aja jadi lupa-lupa. Jadi sekarang lagi berusaha mengulang (sesuai post kemarin, membangun habit hafalan) dari awal juz 30. Bukan Momo saja tentunya, ibu dan ayahnya juga sambil ikut menghafal (luar biasa emang otak anak kecil ya, kalah jauh orangtuanya).
  • Si adek di dalam perut super aktif dan pergerakannya makin lama makin terasa kencang. Hmm.. Walau lebih aktif di malam dan dini hari sih (apakah ini tanda-tanda drama begadang).
  • Sudah sebulanan ini Momo disiplin dengan kewajiban pagi : melipat selimut, mandi, menyiapkan semua perlengkapan sendiri, lap meja makan, sisir rambut, sikat gigi pagi hari. Lalu, tiap malam udah mau ikut solat Isya berjamaah berempat dilanjut doa dan hafalan bersama.
  • Momo si baik hati.. Yang kalau ibunya ga enak badan, selalu siaga mengambilkan makanan dan minuman. Bonus dielus-elus rambutnya atau dipijitin kakinya. Kadang pengen mewek aja, kenapa sih anak gw tuh bisa baik penyayang gini.. Padahal ibunya….
  • Sering dikirimin makanan sama teman-teman. Huhu, suka terharu sendiri kok pada baik-baik amat ya.. Bener-bener udah kayak sodara sendiri, rejeki banget dikelilingi orang-orang baik di rantau.
  • Semua sehat, insyaAllah. Keluarga sehat, close friends juga sehat. Semoga bisa dipertemukan lagi semuanya dalam kondisi sehat tanpa perlu pakai masker dan jauh-jauhan lagi. Pliss segera berakhirlah pandemiiiii.
  • Banyak tayangan documentaries yang menarik di netflix : Joanna Lumley, Sue Perkins, Minimalist Less is More, Amazing Hotels, etc. Lumayanlah mengobati kangen jalan-jalan sambil berangan-angan nanti selesai pandemi mau ke sana sini…

Alhamdulillah.. Alhamdulillah.. Alhamdulillah.. Allah Maha Baik

Addiction

I admit that I am addicted to phone, internet, the social media. I use my phone like 5-6 hours a day at least!! Mostly spent on Instagram and Whatsapp.

I don’t know what the hell I am doing in IG, I thought I just scroll and scroll but it actually consumed a lot of my time. I rarely post anything, you know. I am not too keen of people who overshare everything about their life. I don’t have someone I follow religiously. But I do check pandemic-related news/information quite often. And other miscellaneous information that were mostly useless. Just adding frustration into my life, to be honest.

Next, is Whatsapp. I think it’s quite understandable because I communicate with my friends, family, grocers, restaurants, etc through that application. I cannot live without it. How do I order my food? How do we exchange information? I cannot meet people now, how am I supposed to do? But.. 2-3 hours a day in WA is also a bit too much, right? Without real interactions with real people, it’s getting so boring and depressing sometimes.

Using phone is kind of guilty pleasure for me. It distracts me from real life, real problem. It’s both good and bad; well mostly BAD I know. But can’t help.. I honestly need it, but don’t want to feel FOMO. I don’t want to look for my phone every hour, sometimes just for checking out things that doesn’t make sense at all. I hate it, I hate it. I can do much better activities.. Like resting well, more time with my daughter and husband, even watching TV shows are better because at least it keeps me focus on one thing.

I truly don’t want to be enslaved by this piece of technology 🥺🥺

Allah Sayang Kita

Sebagai Muslim, tentu salah satu yang ingin saya ajarkan kepada anak saya adalah keimanan terhadap Allah. Wait, saya ngaku dulu kalo saya sendiri tidak merasa cukup taat, alias masih amat sangat berlumur dosa lah pokoknya. Cuma ya, tentu saya juga ingin kami sekeluarga selalu berprogres… Bukankah perjalanan keimanan itu perjalanan seumur hidup kita? Dan saya sadar, sebenarnya saya harus mendidik diri sendiri dulu sebelum saya bisa sungguh-sungguh menjalankannya bersama anak-anak saya.

Sejak Momo kecil ini, cita-cita saya adalah mengenalkan Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah yang selalu menjaga, melindungi, memberikan rizki yang tak terhitung. Saya ingin anak saya menyadari itu, mengendapkannya di dalam hati. Makanya saya tidak mengenalkan dulu konsep surga neraka, dosa pahala, dan juga tentang hasutan setan. Saya tentu juga mengajari anak saya beribadah seperti solat, puasa, membaca dan menghafal Al-Qur’an, sedekah, dan lain-lain. Tapi saya ingin menekankan bahwa ibadah yang kita lakukan itu sebagai cara untuk selalu mengingat Allah, untuk bersyukur kepada-Nya. Untuk membuat kita stay humble, berserah diri.. Bahwa hidup kita, apapun yang kita miliki saat ini sesungguhnya adalah milik-Nya. Serius, ini ngga berlaku untuk anak saya saja.. Tapi juga untuk saya dan suami. Karena sejujurnya, untuk mengimani pola pikir seperti ini cukup sulit. Amat sangat sulit. Namanya ego manusia ya.. Ga bohong, kadang di saat ada kesulitan, rasanya reaksi pertama itu seringnya bukan langsung pasrah. Marah dulu, sedih dulu, ada rasa tidak terima dulu. Sulit sekali untuk pasrah dan ikhlas.

Sungguh masalah keimanan ini mungkin adalah tantangan terbesar dalam mendidik anak. Jadi sedih juga saat menulis ini, langsung merasa banyak sekali kekurangan sebagai hamba Allah…

Challenge #2021

Tahun 2021 ini, keluarga kami akan menghadapi sebuah tantangan baru: Ayah Yudi yang mengambil program MBA di ITB! Tentu saja semuanya online dari rumah, kelas dilakukan setiap hari Sabtu dan Minggu, dua kali sebulan, dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Selama kurang lebih dua tahun.

Dengan akan bertambahnya anggota keluarga kami insyaAllah di bulan April nanti, lalu kondisi pandemi yang rasa-rasanya masih jauhhh dari beres (yang artinya kami tetap tidak akan memakai jasa asisten rumah dan Momo masih akan bersekolah dari rumah), tentu saja hal ini membuat saya sebenarnya cukup deg-degan. Deg-degan takut semua jadi terlalu kecapean, takut semua kewajiban-kewajiban jadi terlantar atau jauh dari optimal, dan jujur, yang paling saya khawatirkan adalah kalau terlalu capek dan stress, saya dan suami suka jadi ga sabaran.. Ujung-ujungnya pecah perang! Kalau udah berantem tuh seringnya bikin mood dan segala rencana hancur berantakan. Ah banyak deh sebenarnya ketakutan dan kekhawatiran saya. Ya memang belum terjadi, tapi mau tidak mau tetap kepikiran kan…

Tapi Bismillah yaa.. Sebagai istri, saya juga ingin mendukung cita-cita suami yang ingin sekolah lagi. Sebenarnya kalau mau ideal, dia ingin mengambil master di luar. Tapi dengan berbagai pertimbangan, kami memutuskan untuk mengambil program MBA di ITB. Menurut kami, ini program paling feasible yang bisa kami ambil saat ini, dari segi kemudahan kuliah (karena bisa full online sekarang) dan juga dari biaya (yang sebenarnya cukup menguras tabungan kami juga.. tapi tentu lebih murah daripada distance-learning di universitas luar).

Saya sekarang sangat berharap semoga kami sanggup secara mental dan fisik menjalani tantangan-tantangan ini. Mudah-mudahan suami juga dimudahkan menyeimbangkan kewajiban kantor, kuliah, dan keluarga. Saya juga semoga cukup kuat nanti mengatur urusan rumah dan anak-anak. Dan mudah-mudahan beberapa tahun lagi, giliran saya yang bisa sekolah lagi. Bismillah, we must do it!

To The Little Baby in My Womb

You are a miracle for me, for us

I never thought I would conceive a child naturally, after 7 years of marriage

The first few months, I was so helpless, so sick of being sick

The second trimester I could feel you move inside, like a tickle

Such a tiny wave in my tummy that makes my heart filled with excitement

My little baby, to be honest I have so many worries now

That I don’t give you the best I could do as I bring you around.

That I am so busy in my own thoughts and fear.. That you might hear me cry, yell, or get so angry.

But you have to know, from deep within my heart.. I only wish for you to grow healthily, comfortably

Be a healthy, beauty baby

Let’s meet when you are ready.. I will be there to hold you, to give you all I have

I love you, so much.. Just too much, my child