Blog ini ditulis dalam rangka memenuhi ‘Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog’ dengan tema “Love Story”. Setelah berpikir sejenak, akhirnya saya memutuskan untuk menulis kisah cinta saya pribadi. Hehe. Jangan eneg duluan ya bacanya 😀
Apa itu cinta?Saya pertamakali merasakan ketertarikan kepada lawan jenis ketika saya masih berada di taman kanak-kanak. Cepat sekali, ya. Perasaan dimana saya senang bermain dengannya dan sedih ketika dia marah karena saya iseng mencoret gambar miliknya. Sampai detik ini pun, saya masih ingat nama lengkapnya. Saya tidak paham bagaimana ‘ketertarikan’ itu tumbuh di dalam diri seorang anak kecil, tapi saya yakin, itulah yang saya rasakan.
Begitu pun dengan kisah cinta monyet selanjutnya yang saya alami; semua datang begitu saja. Perasaan berdebar-debar hanya karena melihat ‘dia’ di kejauhan. Perasaan ketika saya tidak sabar ingin berangkat ke sekolah karena akan bertemu dengannya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, perasaan bergejolak itu akan lenyap seperti mimpi yang ditelan kesadaran. Entah karena bertepuk sebelah tangan, atau karena bosan saja.
Bercermin dari pengalaman saya belasan tahun lalu, rasanya banyak sekali yang ingin saya ajarkan kepada diri saya saat itu. Saya yang masih remaja merasa bingung bagaimana menyikapi perasaan suka yang seenaknya datang dan seringkali menyita pikiran. Kebetulan, orangtua saya pun tidak pernah secara khusus membicarakan hal semacam ini. Hanya tegas melarang saya berpacaran sampai usia 17 tahun, that’s it. Kami memang tidak terbiasa bertukar cerita mengenai hal-hal yang menyangkut perasaan. Orangtua saya juga bukan tipe yang terbuka mengekspresikan kasih sayangnya kepada anak-anak. Saya yang masih remaja tanggung pun berusaha sendiri memahami dan mengelola perasaan di hati saya.
Dan akhirnya, saya belajar tentang ‘cinta’ dari sumber-sumber yang available di sekitar saya : komik,novel, cerita teman, bahkan sinetron.
Di benak saya, cinta itu seperti kisah Usagi Tsukino dan Mamoru Chiba yang terlahir dan dipersatukan kembali oleh takdir di Planet Bumi.
Cinta itu adalah komik serial cantik dengan tokoh utama wanita biasa-biasa saja yang selalu memendam perasaan namun akhirnya menarik perhatian sang tokoh utama yang tampan dan populer. Cinta itu ketika kita mencari segala sesuatu tentang orang yang kita suka (nyaris seperti stalking) dan menjadi yang paling mengerti tentang pria yang kita suka (lalu cinta pun berbalas). Happy ending.
Kenyataannya… saya dulu bisa dibilang tidak ‘laku’. Hehe.
Sekarang sih saya merasa sangat bersyukur, merasa Allah sudah melindungi saya sehingga saya minim pengalaman berpacaran.
Namun, dulu saya pernah merasa rendah diri ketika saya menjadi satu-satunya perempuan yang belum pernah ‘ditembak’ di antara teman-teman SMP saya. Saya merasa jadi perempuan yang tidak cantik, tidak menarik. Penampilan saya memang tidak sesuai dengan definisi cantik di kala itu; kulit saya gelap dengan rambut ikal berantakan dan hidung tak mancung. Ditambah saya anak yang canggung dalam bergaul serta cuek dalam berpenampilan. Saya menjadi semakin tidak percaya diri. Saya ingin disukai dan diperhatikan oleh lawan jenis. Ingin perasaan saya terbalaskan seperti teman-teman saya yang lain.
Ketika akhirnya saya punya pacar pun, ketidakpercayaan diri saya akhirnya membuat saya menjadi terlalu clingy dan akhirnya selalu putus dalam hitungan bulan. Dan patah hati itu terasa berat untuk saya. Saya masih ingat, di tengah masa kuliah, saya memutuskan untuk pulang ke rumah orangtua saya di Cilegon karena pikiran saya benar-benar stuck. Hati terasa begitu berat, makanan pun terasa tawar di lidah. Sepanjang perjalanan bus Armada Jaya Perkasa rute terminal Leuwipanjang-Cilegon Timur, tidak henti-hentinya saya menangis. Air mata berhenti mengalir hanya ketika saya ketiduran karena lelah menangis. Dramatis sekali ya? Rasanya ingin saya cubit diri saya yang dulu.. Andai ‘passion’ saya ini bisa disalurkan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat ya.
Saya sadar, saya tidak mampu mengolah perasaan saya dengan baik. Jatuh cinta seringnya membuat saya mengeluarkan yang terburuk dari diri saya. Membuat saya kehilangan nilai diri saya. Semua alur kisah cinta di komik, novel, atau pun sinetron tidak pernah ada yang menjadi kenyataan untuk saya. Bahkan, novel tragedi pun rasanya memiliki rangkaian cerita yang lebih baik daripada kisah saya yang selalu layu, bahkan sebelum berkembang. Tamat dalam sepuluh halaman pertama saja.
Saya pun memutuskanuntuk tidak mau pacaran lagi dan langsung menikah saja! Kapok!
Lalu, bertemulah saya dengan suami saya. Kami berdua bekerja di tempat yang sama, dan (konon) dia naksir sama saya sejak pandangan pertama ketika melihat saya yang waktu itu masih anak baru sedang numpang fotokopi di dekat cubicle dia hehe. Ketika dia mulai rajin mendatangi kosan saya, mengajak saya nonton atau makan bersama, tanpa tedeng aling-aling saya langsung berkata padanya : “Kamu suka ya sama saya? Saya ngga mau pacaran ya. Saya maunya langsung nikah”.
Jujur, saya merasa agak”gila” berbicara menantang seperti itu. Bayangkan saja, saya baru berusia 22 tahun! Masih banyak impian yang ingin saya kejar. Entah apa yang ‘merasuki’ saya sampai berpikiran untuk menikah secepat itu. Dan ternyata, suami saya pun sama saja gilanya karena langsung mengiyakan ucapan saya yang baru dikenalnya beberapa bulan saja. Long story short, akhirnya kami menikah sepuluh bulan kemudian.
Lalu, apakah kehidupan pernikahan adalah khayalan percintaan saya yang menjadi kenyataan?
Kita semua yang sudak menikah tentu sepakat dengan jawaban TENTU TIDAK.
pernikahan itu penuh tantangan
Pernikahan kami, selayaknya pernikahan manusia biasa, tentu diwarnai beribu konflik yang tidakakan bisa dijabarkan dalam sebuah novel romansa. Namun, dari pernikahan inilah saya belajar memaknai ulang cinta.
Cinta itu ternyata tentang menjadi diri kita apa-adanya di hadapan pasangan kita, lengkap dengan bekas-bekas luka yang mengukir hati kita sejak kecil. Tanpa pretensi.
Cinta adalah ketika kita bercermin dari seluruh kekurangan yang kita miliki dan berusaha semampunya untuk berkompromi dan belajar menjadi lebih baik untuk satu sama lain.
Cinta adalah tempat berlabuh, tempat bersandar. Sebuah rumah yang menerima kita dengan tangan terbuka tanpa takut terusir.
Cinta adalah perjalanan panjang, sebuah proses pembelajaran yang harus selalu diusahakan. Bukan sebuah fairytale yang berhenti di kalimat ‘… and they live happily ever after’
Sampai sekarang pun, saya yang insecure ini masih acap kali bertanya kepada suami saya apakah dia mencintai saya? Dan syukurlah, tanpa bosan dia akan selalu berkata “Ya”.
Tiga puluh tiga tahun hidup dan saya masih berusaha meyakinkan diri saya bahwa, ya, ada yang menerima dan menyayangi saya apa-adanya.
Berkat pernikahan ini pula saya merasakan bentuk cinta yang lainnya. Yaitu, cinta ibu kepada anak-anaknya.
Ketika saya memutuskan berhenti kerja dan menjadi ibu rumah tangga, sesungguhnya itu bukan pengorbanan yang saya lakukan untuk anak-anak. Justru kebalikannya, saya yang membutuhkan mereka. Saya butuh mencintai mereka dan memeluk mereka setiap saat. Mereka adalah anak-anak yang menerima saya sebagai ibunya, mencintai saya tanpa satu pun syarat.
Belajar dari apa yang saya rasakan waktu masih kecil, saya pun bertekad untuk lebih terbuka dalam mengekspresikan kasih sayang saya. Saya ingin ‘tabungan’ kasih sayang mereka sudah penuh sampai mereka tidak merasa butuh mencarinya lagi di luar rumah. Tentu kedua anak perempuan saya kelak akan jatuh cinta pada seorang pria. Tapi, semoga fondasi dari kami tidak membuat pikiran mereka terlalu fokus pada imajinasi cinta yang bisa menjauhkan mereka dari tujuan-tujuan hidup yang lain.
Begitulah saya menemukan berbagai bentuk cinta selama tiga puluh tiga tahun usia saya sekarang. Sungguh saya bersyukur bahwa Tuhan masih memberkahi saya dengan cinta-cinta yang menguatkan. Memberikan saya berbagai pengalaman rasa sehingga saya dapat mengambil pelajaran.
Bisa dibilang, ini pun sebuah bentuk kasih sayang dari Tuhan kepada saya.